HARTA BERSAMA SEBAGAI
OBJEK JAMINAN
HAK
TANGGUNGGAN
ACHMAD KARDIANSYAH, S.H.
Nama : Danang Prawibowo
NPM : 21211707
Kelas : 2EB08
Tema : Objek Hukum
4. Akibat
Hukum Pembebanan Hak Tanggungan Terhadap Harta Bersama Tanpa Persetujuan
Suami/Isteri
Pembebanan hak tanggungan terhadap harta bersama
harus dilakukan dengan persetujuan suami atau isteri dari pemberi hak
tanggungan, namun terkadang sulit untuk memastikan apakah hak atas tanah
merupakan harta bersama atau bukan. Karenanya pihak bank atau kreditur
sebaiknya meminta persetujuan dari isteri atau suami pemberi hak tanggungan
untuk lebih menjamin keamanannya. Persetujuan suami isteri debitur dimaksudkan
untuk memberikan jaminan kepada bank atau kreditur bahwa tidak akan ada
sanggahan dari suami atau isteri kreditur terhadap Akta Pembuatan Hak
Tanggungan (APHT) di waktu yang akan datang.
Pembebanan hak tanggungan dibuat dalam bentuk APHT
merupakan perjanjian yang dibuat antara kreditor dan debitor, dimana pemberi
hak tanggungan berjanji untuk memberikan hak atas tanah sebagai jaminan atas
pelunasan utang yang timbul sebagai akibat adanya perjanjian utang piutang atau
perjanjian lainnya yang dapat menimbulkan utang antara kreditor dengan debitor.
Sebagai suatu bentuk perjanjian, maka untuk
keabsahan perjanjian tersebut harus memenuhi syarat-syarat sahnya suatu
perjanjian sebagaimana tercantum dalam Pasal 1320 KUHPerdata. Keabsahan APHT
sebagai suatu bentuk perjanjian harus memenuhi syarat sebagai berikut :
1. Sepakat
mereka yang mengikatkan dirinya
Antara
kreditor dan debitor terdapat kesepakatan mengenai isi dari APHT, antara lain
mengenai objek tanggungan serta klausul-klausul yang terdapat dalam APHT
tersebut.
2. Cakap
untuk membuat suatu perjanjian
Dalam
hal pembebanan hak tanggungan, kecakapan juga ditentukan berdasarkan UUHT.
Kreditur (pemegang hak tanggungan) adalah orang perseorangan atau badan hukum
yang berkedudukan sebagai pihak yang berpiutang. Debitor (pemberi hak
tanggungan) adalah orang perseorangan atau badan hukum yang mempunyai kewenangan
untuk melakukan perbuatan hukum terhadap objek hak tanggungan yang
bersangkutan.
3. Mengenai
suatu hal tertentu
APHT
berisi mengenai segala sesuatu yang berisi tentang pemberian hak tanggungan
dari debitor kepada kreditor, termasuk objek hak tanggungan. Hal ini sesuai
dengan asas specialiteli, yaitu adanya kewajiban bahwa benda yang
menjadi objek hak tanggungan harus ditunjuk secara khusus mengenai jenisnya,
letaknya, luasnya.
4. Suatu
sebab halal
Mengenai
sebab yang halal dalam APHT dapat dikaitkan dengan sifat APHT yang merupakan
perjanjian asesor (accessoir), yaitu perjanjian yang melekat pada
perjanjian pokok (kredit), karena perjanjian ini tidak dapat berdiri sendiri.
APHT timbul dan hapusnya bergantung kepada perjanjian kreditnya. Perjanjian
jaminan mengabdi kepada perjanjian kredit dan diadakan untuk kepentingan
perjanjian kredit yang membrikan kedudukan kuat dan aman bagi para kreditor.
Oleh karena itu suatu sebab yang halal bagi APHT bergantung pada perjanjian
kreditnya.
Mengenai kecakapan debitur terdapat ketentuan khusus
dalam hal hak atas tanah yang dijaminkan merupakan harta bersama hanya dapat
diberikan dengan persetujuan dari pasangan hidup debitur. Adanya persetujuan
suami/isteri dalam pembebanan hak tanggungan didasarkan pada ketentuan yang terdapat
dalam UUHT dan UUP.
Dalam UUHT, ketentuan mengenai orang yang dapat
menjadi pemberi hak tanggungan adalah orang perseorangan atau badan hukum yang
mempunyai kewenangan untuk melakukan perbuatan hukum terhadap obyek hak
tanggungan yang bersangkutan. Kewenangan melakukan perbuatan hukum itu harus
ada pada saat pemberi hak tanggungan melakukan pendaftaran hak tanggungan
dihadapan PPAT.
Dalam UUP mengenai wewenang suami dan isteri
terhadap harta bersama, ditegaskan bahwa suami dan isteri dapat bertindak atas
persetujuan kedua belah pihak. Hal ini berarti wewenang atau kekuasaan atau hak
suami dan isteri sama besarnya. Oleh karena itu suami atau isteri dapat
menggunakan atau melakukan perbuatan hukum terhadap harta bersama mereka,
tetapi dengan syarat harus ada persetujuan dari pihak lainnya (suami/ isteri)
karena ada pihak tersebut juga diatasnya. Pada prinsipnya harta bersama itu
diatur bersama dan dipergunakan bersama dan dalam segala sesuatunya harus ada
persetujuan bersama.
Berdasarkan ketentuan menurut UUHP dan UUP, mengenai
pembebasan hak tanggungan terhadap harta bersama harus disertai dengan
persetujuan dari pasangan perkawinan debitor. Persetujuan yang diberikan bisa
dengan cara turut hadir dalam pembuatan APHT atau dapat juga memberikan persetujuannya
berdasarkan Surat Kuasa yang dibuat dihadapan seorang Notaris.
Berdasarkan yurisprudensi juga dikatakan
bahwa dalam hal seorang suami yang tunduk di bawah Undang-Undang Nomor 1 tahun
1974 Tentang Perkawinan telah memberikan jaminan kepada bank atau kreditor
lainnya terhadap rumah dan tanah yang merupakan harta bersama dengan isterinya,
maka isterinya harus ikut menandatangani perjanjian tersebut.
Seorang debitor yang membebankan hak tanggungan
terhadap harta bersama tanpa persetujuan dari suami atau isterinya, tidak
memiliki kewenangan untuk memberikan hak tanggungan. Hal ini mengakibatkan
tidak terpenuhinya syarat keabsahan perjanjian sebagaimana diatur dalam Pasal
1320 KUHPerdata, yaitu syarat mengenai kecakapan sesorang dalam membuat
perjanjian.
Tidak terpenuhinya syarat kecakapan dalam membuat
perjanjian dapat pula dikatakan melanggar syarat subjektif maka perjanjian
dapat dibatalkan (voidable/ vermetig), keputusan hakim berupa keputusan
konstitutif, artinya hakim dapat merancang sendiri keputusannya, sehingga
perjanjian dapat dibatalkan dapat pula tetap berjalan atau tidak dibatalkan,
akibat hukumnya keadaan dianggap terus berjalan sehingga memungkinkan adanya
ganti rugi. Apapun akibat hukum terhadap APHT, apakah dibatalkan atau tidak,
tidak akan mempengaruhi perjanjian kredit yang merupakan perjanjian pokoknya.
APHT yang dibatalkan mengakibatkan bank atau
kreditor kehilangan keistimewaannya/ kekhususannya sebagai kreditor yang
memiliki hak didahulukan atas pelunasan hutang-hutangnya daripada kreditor
lainnya (kreditur preference). Dengan hilangnya hak didahulukan,
maka bank atau kreditur tidak memiliki jaminan khusus terhadap piutang yang
diberikan kepada debitor. Hal ini mengakibatkan bank atau kreditor hanya
memiliki jaminan umum dan kedudukannya sama dengan kreditor lainnya.
Secara umum, jaminan bagi para kreditor tercantum
dalam pasal 1131 dan Pasal 1132 KUHPerdata. Pasal 1131 KUHPerdata menyatakan
bahwa segala harta miliki debitor, baik yang sudah ada maupun yang baru akan
ada dikemudian hari, dapat menjadi jaminan/ tanggungan untuk segala
hutang-hutangnya. Dari pasal ini terlihat bahwa bank atau kreditor masih
memiliki jaminan atas pengembalian piutangnya. Namun terkadang menyebabkan bank
atau kreditor hanya memperoleh sebagian dari uangnya, karena jaminan tersebut
harus dibagi-bagi dengan beberapa kreditor. Sebagaimana ditetapkan dalam Pasal
1132 KUHPerdata bahwa jaminan tersebut harus dibagi menurut keseimbangan, yaitu
menurut besar kecilnya piutang masing-masing.
0 komentar:
Posting Komentar