HARTA BERSAMA SEBAGAI
OBJEK JAMINAN
HAK
TANGGUNGGAN
ACHMAD KARDIANSYAH, S.H.
Nama : Danang Prawibowo
NPM : 21211707
Kelas : 2EB08
Tema : Objek Hukum
B. Tinjauan Umum Tentang Harta Kekayaan
Perkawinan
1.
Hukum Harta Kekayaan Perkawinan
Berdasarkan Kitab Undang-Undang Hukum Perdata
Ketentuan dalam
KUHPerdata yang mengatur mengenai harta perkawinan diatur dalam title VI, VII,
dan VIII. Dalam pasal 119 ayat (1) KUHPerdata ditegaskan bahwa sejak saat
perkawinan dilangsungkan, demi hukum terjadilah persatuan bulat antara harta
kekayaan suami isteri. Hal ini berarti, bahwa dengan perkawinan antara suami
isteri, maka harta kekayaan suami isteri dilebur menjadi satu. Dengan demikian
pada prinsipnya di dalam satu keluarga, terdapat satu kekayaan milik bersama. Apabila
suami istri tidak menginginkan adanya persatuan harta, maka dapat perjanjian
Kawin sebelum menikah dilangsungkan dan harus dibuat bentuk Akte Notaris.
Dari
perjanjian diatas, dapat disimpulkan bahwa KUHPerdata secara tegas telah
menentukan :
- Terjadinya persatuan atas percapuran harta kekayaan selama perkawinan berlangsung.
- Terjadinya pemisahan harta kekayaan selama perkawinan secara tegas harus dituangkan dalam suau perjanjian perkawian sebelum perkawinan dilangsungkan.
Pasal 120 KUHPerdata ditetapkan bahwa, sekedar
mengenai labanya (Aktivanya), persatuan ini meliputi kekayaan suami istri,
bergerak Dan tidak bergerak, baik yang sekarang maupun yang kemudian, ataupun
yang diperoleh dengan Cuma-Cuma, kecuali dalam hal terakhir ini yang mewariskan
atau yang menghibahkan dengan tegas menentunkan sebaliknya.
Ditegaskan pula Pasal 121 KUHPerdata, bahwa sekedar
mengenai bebanbebanya (Passivanya), persatuan ini meliputi utang suami istri
masing-masing yang terjadi baik sebelum maupun sepanjang perkawinan.
2.
Hukum Harta Perkawinan Berdasarkan
Undang-undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan
Harta kekayaan
perkawinan di dalam UUP diatur di dalam Bab VII tentang Harta Benda Dalam
Perkawinan, Pasal 35, Pasal 36, dan Pasal 37.
Pasal
35 UUP, menentukan sebagai berikut :
1) Harta
benda yang diperoleh selama perkawinan menjadi harta bersama.
2) Harta
bawaan dari masing-masing suami isteri dan harta benda yang diperoleh masing-masing
sebagai hadiah atau warisan, adalah di bawah penguasaan masing-masing sepanjang
para pihak tidak menentukan lain.
3.
Wewenang Suami dan Istri Terhadap
Harta Kekayaan Perkawinan
Pasal 36 Ayat ( 1 ) UUP merupakan ketentuan mengenai
wewenang suami dan istri terhadap harta bersama, menegasakn bahwa: “ mengenai harta bersama suami isteri dapat
bertindak atas persetujuan kedua belah pihak.” Hal ini berarti wewenang atau
kekuasaan atau hak suami dan isteri sama besarnya. Oleh karena itu suami atau
isteri dapat menggunakan atau melakukan perbuatan hukum terhadap harta mereka,
tetapi daengan syarat harus ada persetujuan dari pihak lainnya (Suami/Istri)
karena ada pihak tersebut juga diatasnya.
Harta pribadi didalam suatu perkawinan baru ada
apabila sebelum perkawinan dibuat perjanjian kawin tentang hal tersebut. Ini
adalah penyimpangan dari asas persatuan bulat harta kekayaan suami isteri yang
diatur dalam Pasal 119 KUHPerdata. Harta pribadi juga bisa terjadi jika si
pewaris ataupun penghibah menentukan bahwa harta warisan atau harta hibah itu
adalah khusus diberikan untuk si suami atau si isteri. Pemberian warisan atau
hibahan ini ditentukan dengan tegas. Harta pribadi suami, harta yang didapat
dari warisan atau hibah, dimana pewaris atau pemberi hibah secara tegas
menyatakan bahwa harta tersebut tidak termasuk harta persatuan, kepengurusannya
ada pada suami sendiri, sedangkan menurut Pasal 105 Ayat ( 3 ) KUHPerdata ,
harta pribadi istri, kepengurusannya ada pada suami, kecuali dalam hal istri
memperjanjikan lain.
4.
Tanggung jawab Suami dan Isteri
Terhadap Harta Kekayaan Perkawinan.
Tanggung jawab yang dimaksud disini adalah tanggung
jawab mengenai siapa yang memikul beban atas hutang-hutang yang dibuat suami
dan istri, baik masing-masing ataupun bersama-sama. Mengenai tanggung jawab ini
tidak diatur secara tegas di dalam UUP, maka hanya dapat ditafsirkan dari
pasal-pasalnya saja.
Menurut Pasal 35 Ayat (2) UUP, harta bawaan suami
dan isteri tetap berada di bawah masing-masing. Kata-kata “dibawah penguasaan
masing-masing” dapat diartikan bahwa tanggung jawab atas harta bawaan itu
dipikul masing-masing pihak. Undang-undang tidak menyebut dengan jelasmengenai
hutang-hutang yang dibuat suami atau istri sebelum atau selama perkawinan,
apakah menjadi kewajiban bersama suami istri ataukah tetap menjadi hutang
pribadi para pihaknya. Demikian juga dengan harta bersama, suami dan istri mempunyai
wewenang yang sama besarnya atas harta bersama itu. Oleh karena itu atas hutang
bersama suami dan istri mempunyai hak yang sama untuk mengikatkan diri dengan
pihak ketiga.
Dengan demikian pada dasarnya atas hutang pribadi
tetap ditanggung oleh masing-masing suami/istri. Sedangkan untuk hutang bersama
suami dan istri masing-masing memikul setengah kewajiban atas hutang bersama
itu.
Di dalam KUHPerdata, hutang-hutang yang dibuat suami
istri baik sebelum maupun selama perkawinan berlangsung termasuk harta
persatuan. Berarti suami dan istri bersama-sama menanggung hutang tersebut.
Pada saat perkawinan bubar, besar tanggungan akan diperhitungkan, yaitu
masing-masing setengah bagian ( Pasal 130 KUHPerdata ). Jika di dalam
perkawinan ternyata ada harta pribadi suami.istri, atau harta pribadi suami dan
istri, apabila si suami atau si istri mempunyai hutang, maka hutang tersebut
adalah tanggungjawab pribadi si suami atau si istri.
0 komentar:
Posting Komentar