HARTA BERSAMA SEBAGAI
OBJEK JAMINAN
HAK
TANGGUNGGAN
ACHMAD KARDIANSYAH, S.H.
Nama : Danang Prawibowo
NPM : 21211707
Kelas : 2EB08
Tema : Objek Hukum
3. Pelaksanaan Pembebanan Hak Tanggungan Atas
Harta Bersama Dihubungkan Dengan Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974
Akibat perkawinan terhadap harta kekayaan yang
diperoleh suami isteri selama perkawinan adalah milik bersama. Suami isteri
selaku pemilik yang sah dapat berbuat bebas untuk menjual atau menjaminkannya.
Harta bersama suami isteri dapat berupa tanah maupun bukan tanah. Didasarkan
hukum tanah, tanah yang dimiliki suami isteri berikut atau tidak berikut segala
sesuatu yang merupakan satu kesatuan dengan tanah apabila dijaminkannya maka
jaminannya adalah hak tanggungan.
Hak tanggungan merupakan suatu bentuk jaminan yang
lahir karena praktek penyaluran dana dalam kegiatan perekonomian di masyarakat.
Penyaluran dana kepada masyarakat yang dilakukan melalui pemberian kredit
dilakukan oleh lembaga keuangan baik bank maupun bukan bank. Penyaluran dana dalam
bentuk kredit oleh bank merupakan perwujudan dari fungsi bank sebagai badan
usaha yang menghimpun dana dari masyarakat dalam bentuk simpanan dan
menyalurkannya kepada masyarakat dalam bentuk kredit dan/ atau bentuk-bentuk
lainnya dalam rangka meningkatkan taraf hidup rakyat banyak.
Obyek hak tanggungan adalah hak atas tanah, bukan
tanahnya itu sendiri. Hak atas tanah yang dapat dijadikan objek hak tanggungan
antara lain Hak Milik, Hak Guna Usaha, dan Hak Guna Bangunan. Dengan
meningkatkan kebutuhan dalam prakteknya dan perkembangan hukum tanah nasional,
maka objek hak tanggungan bertambah, yaitu hak pakai atas negara. Selain itu
tidak hanya hak atas tanah saja yang dapat dibebani hak tanggungan, tetapi juga
bangunan, tanaman dan hasil karya yang telah ada atau yang akan ada yang
merupakan satu kesatuan dengan tanah tersebut.
Pemberi hak tanggungan dalam Pasal 8 Ayat (1) UUHT
adalah orang perseorangan atau badan hukum yang mempunyai kewenangan untuk
melakukan perbuatan hukum terhadap obyek hak tanggungan yang bersangkutan. Kewenangan
melakukan perbuatan hukum itu harus ada pada saat pemberi hak tanggungan
melakukan pendaftaran hak tanggungan dihadapan Pejabat Pembuat Akta Tanah
(PPAT). Kewenangan tersebut harus dapat dibuktikan oleh si pemberi hak tanggungan
dengan adanya sertifikat hak atas tanah apabila tanah tersebut telah terdaftar
di Kantor Pertanahan setempat.
Mengenai siapa yang berwenang melakukan perbuatan
hukum atas tanahnya, bisa dilihat dalam Pasal 21, Pasal 30 dan Pasal 36 UUPA.
Yang dapat membebankan hak tanggungan di atas tanah hak milik adalah hanya
warga negara Indonesia dan badan-badan hukum yang telah ditetapkan oleh
Pemerintah. Untuk hak guna usaha dan hak guna bangunan, yang dapat membebankan
hak tanggungan adalah warga negara Indonesia dan badan-badan hukum yang didirikan
menurut hukum Indonesia. Dalam hal pembebanan hak tanggungan, tidak menutup
kemungkinan bahwa hak atas tanah yang dijaminkan tersebut merupakan harta
kekayaan perkawinan. Di dasarkan ketentuan Pasal 35 UUP, harta kekayaan perkawinan dibedakan menjadi
harta bersama dan harta pribadi. Harta bersama merupakan harta yang diperoleh
dari pendapatan suami dan pendapatan isteri selama perkawinan atau dalam
perkawinan mereka. Sedangkan harta pribadi adalah harta yang tidak masuk kedalam
harta bersama, yaitu harta bawaan suami atau isteri atau harta yang diperoleh
suami atau isteri sebagai hadiah atau
warisan, kecuali diperjanjikan lain. Diperjanjikan lain dalam hal ini maksudnya
adalah apabila mengenai harta kekayaan perkawinan diatur dalam suatu perjanjian
kawin. Mengenai perjanjian perkawinan diatur dalam Pasal 29 UUP. Dengan adanya
perjanjian kawin, harta kekayaan perkawinan dapat merupakan harta bersama
secara keseluruhan atau merupakan harta pribadi.
Berdasarkan ketentuan mengenai hak tanggungan,
pemberi hak tanggungan harus memiliki kewenangan untuk membebankan hak
tanggungan terhadap objek jaminan. Dalam hal objek jaminan merupakan harta
kekayaan perkawinan didasarkan dalam UUP kewenangan dibedakan antara harta
bersama dan harta pribadi. Oleh karena itu harus memperhatikan
ketentuan-ketentuan mengenai kewenangan suami istri atas harta kekayaan
perkawinan yang diatur dalam Pasal 36 UUP.
Pasal 36 Ayat (1) UUP merupakan ketentuan mengenai
wewenang suami dan istri terhadap harta bersama, dengan menegaskan bahwa
mengenai harta bersama, suami dan isteri dapat bertindak atas persetujuan kedua
belah pihak. Hal ini berarti wewenang atau kekuasaan atau hak suami dan isteri
sama besarnya. Oleh karena itu suami dan isteri dapat menggunakan atau
melakukan perbuatan hukum terhadap harta bersama mereka, tetapi dengan syarat
harus ada persetujuan dari pihak lainnya (suami/ isteri) karena ada hak pihak
tersebut juga diatasnya. Pada prinsipnya harta bersama itu diatur bersama dan
dipergunakan bersama dan dalam segala sesuatunya harus ada persetujuan bersama.
Suami dan isteri bersama-sama berhak atas harta
bersama karena kedudukan suami dan istri yang seimbang di dala Pasal 31 Ayat
(1) UUP mengenai hak dan kewajiban suami isteri, yaitu hak dan kedudukan isteri
adalah seimbang dengan hak dan kedudukan suami dan isteri yang seimbang itu,
wewenang atas harta bersama pun seimbang. Diatur pula dalam Pasal 31 Ayat (2)
UUP bahwa masing-masing pihak berhak untuk melakukan perbuatan hukum. Dikaitkan
dengan wewenang suami isteri terhadap harta bersama, maka baik suami maupun
isteri bisa melakukan perbuatan hukum atas harta bersama, seperti misalnya
menjaminkan harta bersama sebagai agunan kredit, walaupun harus dengan
persetujuan suami isteri.
Kewenangan terhadap harta pribadi diatur dalam Pasal
36 Ayat (2) UUP. Dikatakan bahwa suami dan isteri memiliki hak sepenuhnya
terhadap harta pribadi yang dimilikinya walaupun terdapat dalam suatu
perkawinan. Dari Pasal 36 Ayat (2) UUP tersebut dapat disimpulkan bahwa suami
dan isteri tetap mempunyai kekuasaan atas harta pribadi masing-masing yang
dibawa dalam perkawinan mereka. Suami dan isteri mempunyai hak sepenuhnya,
berarti masingmasing mempunyai hak milik atas harta pribadinya dan karenanya
mereka berhak untuk melakukan apa saja terhadap harta pribadi.
Demi keamanan untuk memperoleh pengembalian
hutang-hutang debitor, maka dalam memberikan fasilitas kredit kepada
masyarakat, bank lebih memilih menerima jaminan berupa hak atas tanah yang
dapat dibuktikan dengan adanya sertifikat. Pembuktian mengenai hak atas tanah
dengan sertifikat dianggap sebagai bukti yang paling memenuhi kepastian hukum.
Di dalam sertifikat hak atas tanah terkadang sulit
untuk mengetahui apakah tanah tersebut merupakan harta bersama atau harta
pribadi. Sertifikat terkadang hanya mencantumkan satu nama walaupun sebenarnya
tanah tersebut merupakan hak bersama suami isteri. Hal ini juga mengakibatkan
sulitnya mengetahui siapa yang berwenang untuk melakukan tindakan hukum
terhadap tanah tersebut. Untuk menghindari timbulnya masalah akibat bank atau
kreditor salah menilai apakah suatu hak atas tanah merupakan milik bersama atau
milik pribadi, maka dalam hal hak atas tanah tersebut berada dalam suatu
perkawinan harus dijaminkan dengan persetujuan dari pasangan kawinnya. Oleh
karena itu pada saat pemberi hak tanggungan melakukan pendaftaran hak
tanggungan dihadapan PPAT, maka keduanya, suami dan isteri diharapkan dapat
menghadap PPAT. Dalam hal pasangan debitur tidak dapat hadir pada saat
pembuatan APHT, maka persetujuan isteri atau suami dapat diberikan berdasarkan
Surat Kuasa dari isteri atau suami debitur yang dibuat dalam bentuk akta
notaril.
0 komentar:
Posting Komentar