HARTA BERSAMA SEBAGAI
OBJEK JAMINAN
HAK
TANGGUNGGAN
ACHMAD KARDIANSYAH, S.H.
Nama : Danang Prawibowo
NPM : 21211707
Kelas : 2EB08
Tema : Objek Hukum
HASIL PENELITIAN
DAN PEMBAHASAN
1.
Pembebanan Hak Tanggungan Terhadap
Harta Bersama Dalam Kegiatan Perbankan
Pemberian kredit yang dilakukan oleh bank dalam
prakteknya tidak lepas dari masalah yang sering timbul akibat lembaga jaminan.
Permasalahan yang terjadi dalam praktek perbankan mengenal jaminan terkadang
muncul berkaitan dengan objek jaminan hak tanggungan yang merupakan harta
bersama (gonogini). Penjaminan harta bersama yang dilakukan oleh debitor
terkadang dilakukan tanpa persetujuan (ijin) dan isteri atau suaminya.
Harta kekayaan perkawinan dalam UUP ditegaskan
dengan istilah harta bersama. Harta bersama merupakan harta benda yang
diperoleh suami isteri selama perkawinan. Dalam KUHPerdata, harta kekayaan
perkawinan merupakan percampuran harta yang terjadi akibat adanya suatu
perkawinan. Sehingga dalam prinsipnya baik menurut UUP maupun menurut KUHPerdata,
harta kekayaan perkawinan merupakan harta kekayaan yang dimiliki oleh suami
isteri secara bersarna.
Apabila terjadi pemberian hak tanggungan terhadap
harta bersama biasanya terjadi karena debitor (baik suami atau isteri) yang
namanya tercantum dalam sertifikat sebagai pemilik hak atas tanah, membebankan
hak tanggungan sebagai jaminan kepada kreditur/bank tanpa persetujuan suami
atau isterinya. Hal ini menyebabkan apabila debitur tidak dapat memenuhi
kewajibannya kepada bank, maka bank akan sulit untuk mengeksekusi objek hak
tanggungan tersebut karena suami/isteri debitor dapat mencegah eksekusi
tersebut dengan mengajukan sanggahan ke pengadilan dengan dalih bahwa ia tidak
pernah memberikan persetujuannya untuk menjaminkan harta benda termaksud.
Mengenai harta kekayaan perkawinan, di dalam
KUHPerdata ditegaskan bahwa pengurusan harta kekayaan perkawinan merupakan hak
mutlak yang diberikan kepada suami sehingga suami tidak perlu mempertanggung
jawabkan kepada isterinya. Namun berdasarkan yurisprudensi dikatakan
bahwa dalam hal seorang suami yang tunduk di bawah hukum Barat telah memberikan
jaminan kepada bank atau kreditur lainnya terhadap rumah dan tanah yang
merupakan harta bersama dengan isterinya, maka isterinya harus ikut
menandatangani perjanjian jaminan tersebut. dalam UUP ditegaskan bahwa suami
dan isteri dapat bertindak hanya dengan persetujuan kedua belah pihak. Hal ini
berarti kewenangan terhadap harta kekayaan perkawinan ada pada kedua belah
pihak. Sehingga apabila suami atau isteri yang ingin membebankan hak tanggungan
atau menjual harta bersama harus dengan persetujuan isteri atau suaminya.
Dalam hal pemberian jaminan, misalnya hak
tanggungan, dalam hal objek jaminan yang akan dibebani hak tanggungan merupakan
harta bersama, diperlukan persetujuan dari pasangan hidup si debitor. Mengenai
keharusan isteri untuk turut menyetujui perjanjian jual beli dapat dilihat
dalam yurisprudensi berdasarkan Putusan Mahkamah Agung Republik Indonesia Nomor
: 1876 K/Pdt/2001.
Meniyati melawan Etty dan Syamsudin mengenai
perjanjanjian jual beli tanpa adanya persetujuan isteri. Bahwa antara antara
Meniyati dan Syamsudin mempunyai hubungan sebagai suami isteri yang sah. selama
perkawinan antara Meniyati dan syamsudin telah diperoleh harta bersama yang
salah satu diantaranya adalah sebidang tanah berikut bangunan rumah permanen
yang terletak dikelurahan jagabaya,kecamatan kedaton kotamadya Bandar lampung
dengan sertifikat hak guna bangunan nomor : 349/jagabaya junto surat ukur nomor
: 697/1986 seluas 246 M2, kemudian tanah tersebut pada tanggal 16 juli 1996
telah diperjual belikan oleh Syamsudin kepada Etty tanpa adanya pemberitahuan
terlebih dahulu (izin) kepada Meniyati dan hal ini jelas telah merugikan
meniyati selaku isteri yang sah.
Pada tingkat pengadilan Negeri, diputuskan bahwa
tanah berikut bangunan rumah permanen tersebut, yang menjadi sengketa adalah
harta bersama antara Meniyati dan Syamsudin. Serta jual beli yang dilaksanakan
antara Etty dan Syamsudin tidak sah dan karenanya batal demi hukum, dan
menghukum Etty untuk menyerahkan sertifikat hak guna bangunan yang merupakan
harta bersama antara Meniyati dan Syamsudin,yaitu sebidang tanah berikut
bangunan rumah permanen yang terletak dikelurahan jagabaya,kecamatan kedaton
kotamadya Bandar lampung dengan sertifikat hak guna bangunan nomor :
349/jagabaya junto surat ukur nomor : 697/1986 seluas 246 M2(untuk selanjutnya
disebut objek sengketa), berdasarkan keputusan Pengadilan Negeri Tanjung Karang
Nomor : 39/Pdt.G/1999/PNTK. Kemudian Etty mengajukan naik banding ke Pengadilan
Tinggi Tanjung Karang di Bandar Lampung, dengan menyatakan dengan keberatan
terhadap keputusan Pengadilan Negeri Tanjung Karang tersebut dan memohon agar
perkara tersebut diperiksa dan diadili pada Pengadilan Tingkat banding.
Etty mengajukan banding dengan alasan bahwa gugatan
Meniyati cacat/tidak sempurna, sehingga gugatan tersebut tidak dapat diterima,
karena Etty mengemukakan bahwa objek sengketa bukanlah merupakan harta bersama
antara Meniyati dengan Syamsudin, melainkan merupakan harta bawaan dari
syamsudin serta mengajukan permohonan agar ditolak atau digugurkan sita jaminan
terhadap objek sengketa.
Berdasarkan keputusan tanggal 3 agustus 2000 Nomor :
15/Pdt/2000/PT.TK. Pengadilan Tinngi Tanjung Karang di Bandar Lampung memutuskan
bahwa sebidang tanah berikut bangunan yang menjadi objek sengketa adalah harta
bersama, bahwa jual beli berdasarkan Akta Notaris tanggal 16 juli 1996 Nomor :
320/09.03/jg.II--/1996 antara Etty dan Syamsudin tidak sah dan karenanya batal
demi hukum, agar Etty untuk menyerahkan sertifikat objek sengketa kepada
Meniyati.
Keputusan
ini didasarkan beberapa pertimbangan hakim yang lain sebagai berikut:
“menimbang bahwa dalam
transaksi jual beli objek sengketa telah melanggar salah satu syarat terpenting
bagi sahnya suatu perjanjian, karena yang menjadi objek transaksi jual beli
antara Etty dan Syamsudin merupakan harta harta bersama yang dijual oleh
Syamsudin tanpa seizin dari Meniyati sebagai isteri yang sah, maka perjanjian
tersebut mengandung cacat, adanya sebab yang tidak halal terhadap objek
transaksi/dilarang oleh Undang-Undang, oleh karenanya berdasarkan pasal 1337
KUHPerdata perjanjian jual beli objek sengketa tersebut tidak mempunyai kekutan
hukum berlaku, harus batal sejak semula,batal demi hukum”
Kemudian Etty mengajukan banding ke Mahkamah Agung
dan menyatakan tetap pada tuntutannya bahwa objek sengketa bukan merupakan
harta bersama melainkan harta bawaan dari Syamsudin, Akan tetapi Mahkamah Agung
membenarkan pendapat dari Pengadilan Negeri serta Pengadilan Tinggi Tanjung
Karang.
Dapat kita lihat bahwa Pengadilan Negeri maupun
Pengadilan Tinggi dalam memutuskan perkara ini kurang lebih sejalan dengan
keputusan dari Mahkamah Agung dalam hal seorang suami yang tunduk dibawah
Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang perkawinan telah menjual atau
memberikan jaminan kepada bank atau kreditor lainnya terhadap tanah dan rumah
yang merupakan harta bersama dengan isterinya, sedangkan isterinya tidak ikut
menandatangani perjanjian jual beli atau jaminan tersebut, maka dianggap oleh
Mahkamah Agung sebagai transaksi jual beli atau pemberian jaminan yang
mempunyai cacat dan bahkan sanksinya menjadi tidak berkekuatan hukum.
Dengan adanya contoh kasus tersebut, pihak kreditor
dalam memberikan kredit haruslah memperhatikan hal utama yang harus dipenuhi
dalam setiap perjanjian adalah syarat-syarat sahnya suatu perjanjian
sebagaimana tecantum dalam Pasal 1320 KUHPerdata, yaitu sebagai berikut:
1) Sepakat
mereka yang mengikatkan dirinya.
Sepakat
maksudnya adalah hahwa kedua subyek yang mengadakan perjanjian itu harus saling
sepakat, setuju dan seia sekata mengenai hal-hal pokok dalam perjanjian yang
dibuat. Misalnya pihak debitor dan kreditor telah sepakat dan setuju tentang
besar jumlah kredit.
2) Cakap
untuk membuat suatu perjanjian
Pada
asasnya, setiap orang yang sudah dewasa atau akilbalig dan sehat pikirannya
adalah cakap menurut hukum. Mengenai hal kedewasaan menurut KUHPerdata dan
untuk dapat membuat suatu perjanjian adalah apabila seseorang sudah berumur 21
(duapuluh satu) tahun atau sudah menikah. Seseorang dianggap tidak cakap untuk
membuat perjanjian apabila; orang tersebut belum dewasa atau sedang berada di
bawah pengampunan.
3) Mengenai
suatu hal tertentu:
Maksudnya
adalah dalam perjanjian tersebut harus disebutkan dengan jelas hak-hak dan
kewajiban-kewajiban dari pihak debitur dan pihak kreditor.
4) Suatu
sebab yang halal
Yang
dimaksud dengan sebab yang halal adalah isi dari perjanjian. Misalnya
perjanjian kredit tersebut dianggap tidak mempunyai sebab yang halal apabila
tujuan pemberian kredit itu oleh kreditor adalah untuk mengembangkan usaha
narkotik atau obat terlarang lainnya.
Hal ini mengakibatkan segala sesuatu tentang
pemberian kredit menjadi jelas dan pasti, dan harus dipatuhi oleh semua pihak
(kreditor, debitor atau pihak ketiga), termasuk mengenai pengembalian kredit
dari eksekusi apabila terjadi kredit macet. Pencantuman klausul tersebut
didasari dengan pemikiran bahwa kredit yang diberikan oleh bank merupakan hal
yang mengandung risiko, karena dalam suatu perjanjian kredit dapat terjadi
bahwa debitur cedera janji dan mengakibatkan kredit macet. Risiko tersebut
harus dapat ditanggulangi oleh bank karena bank harus dapat mempertanggung
jawabkan dana yang digunakan kepada masyarakat sebagai pemilik dana.
Prinsip kehati-hatian dilakukan dengan cara
melakukan berbagai macam penilaian tentang kemampuan membayar calon debitor
sebelum menentukan seorang debitor layak untuk diberikan fasilitas kredit.
0 komentar:
Posting Komentar