Senin, 06 Mei 2013

SERTIFIKAT

 

Minggu, 05 Mei 2013

XIV. JENIS-JENIS PERJANJIAN SEBAGAI DASAR HUKUM DALAM PENGALIHAN HAK GUNA BANGUNAN OBJEK HAK TANGGUNGAN

JENIS-JENIS PERJANJIAN SEBAGAI DASAR HUKUM DALAM PENGALIHAN HAK GUNA BANGUNAN OBJEK HAK TANGGUNGAN

RETNO PRABANDARI, S.H.

Nama    : Danang Prawibowo
NPM     : 21211707
Kelas    : 2EB08
Tema    : Objek Hukum

E. Perlu Tidaknya Dibuat APHT baru

kembali pernyataan dari Nisa Rachmasari saya rangkum bahwa perlu dibuat APHT baru karena tanah sebelumnya sudah diroya. Roya hak tanggungan atas tanah menyebabkan tanah tersebut sudah tidak lagi dibebani oleh hak tanggungan. Sehingga APHT baru harus dibuat.
Menurut B.I.P. Suhendro, perubahan dalam tatacara pengisian formulir APHT tidak menyalahi aturan apapun. Ditambahkannya lagi, seorang notaris harus mampu mengisi formulir APHT ini sesuai dengan kebutuhan kasus yang dihadapi.
Meskipun memberikan masukan, B.I.P. Suhendro menyatakan bahwa APHT tetap tidak bisa menjamin kedudukan kreditur. Kedudukan kreditur tetap tidak pada posisi aman karena kedudukannya sudah berubah menjadi kreditur konkuren setelah dilakukan roya hak tanggungan.
Sedangkan menurut Suyanto, tidak mungkin kasus ini diselesaikan dengan cara meroya seluruh bidang tanah yang dibebani hak tanggungan. Menurutnya risikonya terlalu besar, dikhawatirkan muncul kreditur lain pada masa setelah roya. Dibuatnya APHT baru tidak akan memecahkan masalah, karena kedudukan kreditur yang seharusnya sebagai kreditur preferent bisa berubah menjadi kreditur konkuren setelah dilakukan tindakan roya hak tanggungan.
Menurut H. Soepirman Soetarman, perlu dibuat APHT baru karena sebelumnya beban hak tanggungan atas tanah tersebut sudah dihapus. Sehingga, perlu dibuat APHT baru apabila kreditur tetap ingin piutangnya dijamin dengan hak tanggungan. Pendapat yang dikemukakan oleh H. Soepirman Soetarman ini sama dengan pendapat yang dikemukakan oleh Nisa Rachmasari. Menurut Subiyanto Putro, tidak perlu dibuat APHT baru. Hal ini disebabkan beban hak tanggungan tetap membebani tanah tersebut. Roya hanya dilakukan terhadap bidang tanah baru hasil pemisahan dari bidang tanah indukatau hasil pemecahan yang akan dijual guna pembayaran angsuran. Akibatnya adalah tidak perlu dibuat APHT baru untuk obyek hak tanggungan tanah induk hasil pemisahan.

Kesimpulan
1. Diperbolehkan atau Tidaknya Obyek Hak Tanggungan Dipindahtangankan

Sesuai dengan pendapat yang dinyatakan oleh B.I.P. Suhendro dan Subiyanto Putro, Tanah obyek hak tanggungan dapat dipindahtangankan, meskipun sebelumnya tidak diperjanjikan dalam APHT. Dasarnya adalah Pasal 2 poin ke 2 APHT yang menyatakan bahwa:
" Dalam hal Obyek Hak Tanggungan kemudian dipecah sehingga Hak Tanggungan membebani beberapa hak atas tanah, Debitor dapat melakukan pelunasan utang yang dijamin dengan Hak Tanggungan dengan cara angsuran yang besarnya sama dengan nilai masing-masing hak atas tanah tersebut, yang dibebaskan dari Hak Tanggungan, sehingga kemudian Hak Tanggungan itu hanya membebani sisa Obyek Hak Tanggungan untuk menjamin sisa utang yang belum dilunasi. Nilai masing-masing hak atas tanah tersebut akan ditentukan berdasarkan kesepakatan antara Pihak Pertama dengan Pihak Kedua."
Selain berdasarkan Pasal 2 poin ke 2 APHT, obyek hak tanggungan dapat dipindahtangankan karena didasarkan pada hukum perdata yang menjunjung tinggi hak para pihak sebagai subyek hukum. Fungsi UUHT dalam hal ini adalah sebagai hukum pelengkap atau hukum yang mengatur saja (aanvullendrecht), sifatnya tidak memaksa. UUHT hanya mengikat jika dan sepanjang para pihak tidak menentukan peraturan yang lain dengan perjanjian. UUHT hanya bermaksud mengisi kekosongan hukum yang dibuat oleh para pihak.

2. Langkah-langkah Pengalihan Hak Guna Bangunan Obyek Hak Tanggungan

Langkah-langkah yang dapat ditempuh untuk mengalihkan sebagian HGB obyek hak tanggungan dengan cara pemisahan adalah
  1. Dibuat surat pernyataan sepihak dari debitur khususnya pemilik tanah obyek hak tanggungan. Surat pernyataan tersebut berisi pernyataan untuk menjual sebagian tanah HGB obyek hak tanggungan guna pembayaran angsuran kredit.
  2. Surat persetujuan dari kreditur untuk melakukan pemecahan atas bidang tanah obyek hak tanggungan
  3. Roya atas tanah hasil pecahan yang hendak dijual.
  4. Dilakukan jual beli atas tanah hasil pecahan yang telah dihapus beban hak tanggungannya.
  5. Hasil penjualan tanah hasil pecahan tersebut digunakan untuk membayar angsuran.

3. Jenis-jenis Perjanjian sebagai Dasar Hukum dalam Pengalihan Hak Guna Bangunan Obyek Hak Tanggungan

Perjanjian-perjanjian yang diperlukan sebagai pendukung untuk terlaksananya pengalihan HGB obyek hak tanggungan, yaitu:
A.   Perjanjian Konsensual dan Perjanjian Tidak Bernama (innominat)
B.   Perjanjian Formil dan Bernama

4. Kelemahan dan Kelebihan Jenis-Jenis Perjanjian yang Telah Dibuat

a. Kelemahan
Kelemahan dari perjanjian di atas adalah Undang-undang tidak mengatur secara tegas mengenai akibat dari pemecahan dan pemisahan. Pengaturannya hanya dalam Peraturan Pemerintah dan Peraturan Menteri Negara Agraria sehingga menimbulkan keragu-raguan dalam penerapannya. Namun kelemahan ini bisa diatasi dengan cara mengedepankan sifat accesoir hak tanggungan dan mengutamakan kepentingan para pihak. Selama para pihak sepakat, maka peraturan perundang-undangan sifatnya hanya mengatur saja.

b. Kelebihan
Kelebihan dari perjanjian tersebut di atas dilindungi oleh hukum perdata yang menjunjung hak para pihak sebagai subyek hukum, kelebihan lainnya adalah perjanjian ini lebih efisien. Dikatakan efisien karena sangat menghemat waktu dan biaya.

5. Perlu Tidaknya Dibuat APHT baru

Tidak perlu dibuat APHT baru karena setelah pemecahan atau pemisahan beban hak tanggungan masih membebani masing-masing bidang tanah.

B. Saran
  1. Menurut saya seharusnya para pembuat peraturan melakukan revisi peraturan perundang-undangan. Hal ini perlu dilakukan supaya ketentuan-ketentuan dalam pasal, khususnya mengenai akibat pemecahan dan pemisahan atas tanah yang dibebani hak tanggungan, dapat diterjemahkan secara jelas oleh setiap orang yang membacanya. Sehingga tidak timbul pendapat yang berbeda mengenai akibat dari pemecahan dan pemisahan.
  2. Hal tersebut dilakukan agar Notaris dan PPAT meningkatkan pemahaman dan kreatifitasnya dalam pembuatan akta dengan berdasarkan hukum.

XIII. JENIS-JENIS PERJANJIAN SEBAGAI DASAR HUKUM DALAM PENGALIHAN HAK GUNA BANGUNAN OBJEK HAK TANGGUNGAN

JENIS-JENIS PERJANJIAN SEBAGAI DASAR HUKUM DALAM PENGALIHAN HAK GUNA BANGUNAN OBJEK HAK TANGGUNGAN

RETNO PRABANDARI, S.H.


Nama   : Danang Prawibowo
NPM    : 21211707
Kelas   : 2EB08
Tema   : Objek Hukum

C.      Jenis-jenis Perjanjian sebagai Dasar Hukum dalam Pengalihan Hak Guna Bangunan Obyek Hak Tanggungan

Menurut pendapat Nisa Rachmasari, jenis perjanjian yang digunakan sebagai dasar hukum dalam pengalihan HGB obyek hak tanggungan adalah jenis perjanjian formil. Perjanjian formil yang digunakan berupa perjanjian untuk membebani tanah dengan hak tanggungan setelah dilakukan roya. Perjanjian untuk membebani kembali tanah yang telah diroya ini
dituangkan dalam dokumen berupa:

1.                 Surat Kuasa Membebankan Hak Tanggungan (SKMHT)
SKMHT merupakan dokumen yang berisikan perjanjian formil. Isinya perjanjian formil karena perjanjian ini oleh undang-undang diharuskan untuk dibuat dengan bentuk tertentu secara tertulis dengan akta yang dibuat oleh pejabat umum notaris atau PPAT berdasarkan kesepakatan para pihak. Isi SKMHT ditetapkan dengan Peraturan Menteri Negara Agraria/Kepala BPN Nomor 3 Tahun 1996 dan sudah tersedia dalam bentuk formulir.

Hal-hal yang diperjanjikan di dalamnya adalah
1.     Pemberi kuasa memberikan kekuasaannya kepada penerima kuasa untuk membebankan hak tanggungan, yang meliputi:

  • Kuasa untuk menghadap dimana perlu
  • Memberikan keterangan-keterangan serta memperlihatkan dan menyerahkan surat-surat yang diminta
  • Membuat atau minta dibuatkan serta menandatangani APHT serta surat-surat lain yang diperlukan
  • Memilih domisili
  • Memberi pernyataan bahwa obyek hak tanggungan benar milik pemberi kuasa, tidak tersangkut dalam sengketa, bebas dari sitaan dan dari beban-beban apapun
  • Mendaftarkan hak tanggungan tersebut
  • Memberikan dan menyetujui syarat-syarat atau aturan-aturan serta janji-janji yang disetujui oleh pemberi kuasa dalam APHT

2.     Janji tentang berlakunya SKMHT. Di dalam SKMHT diperjanjikan bahwa SKMHT tidak dapat ditarik kembali dan tidak berakhir karena sebab apapun, juga jika pemberi hak tanggungan meninggal dunia. Kuasa tersebut berakhir setelah dilaksanakan atau telah habis jangka waktunya. Jangka waktu berlakunya SKMHT untuk tanah yang bersertifikat adalah satu bulan sesudah diberikan, wajib diikuti dengan pembuatan APHT. Sedangkan jangka waktu SKMHT untuk tanah yang belum bersertifikat adalah tiga bulan setelah diberikan dan wajib sudah dibuat APHTnya.

2.                 Akta Pemberian Hak Tanggungan (APHT)
APHT juga merupakan dokumen yang berisikan perjanjian formil. Perjanjian ini oleh undang-undang diharuskan dibuat dalam bentuk tertulis dengan akta PPAT. Perjanjian yang dimuat dalam dokumen APHT adalah
  1. Janji pemberi hak tanggungan untuk membebani tanahnya dengan hak tanggungan guna pelunasan utang. Di dalam APHT diperjanjikan secara jelas mengenai obyek hak tanggungan, nilai tanggungan dan utang yang dijamin.
  2. Janji fakultatif yang diberikan oleh kedua belah pihak. Janji ini dapat dikurangi ataupun ditambah asalkan tidak bertentangan dengan ketentuan UUHT. Janji-janji tersebut dapat berupa:

  • Janji yang membatasi kewenangan pemberi Hak Tanggungan untuk menyewakan obyek Hak Tanggungan dan/atau menentukan atau mengubah jangka waktu sewa dan/atau menerima uang sewa di muka, kecuali dengan persetujuan tertulis lebih dahulu dari pemegang Hak Tanggungan.
  • Janji yang membatasi kewenangan pemberi Hak Tanggungan untuk mengubah bentuk atau tata susunan obyek Hak Tanggungan, kecuali dengan persetujuan tertulis lebih dahulu dari pemegang hak tanggungan.
  • Janji yang memberikan kewenangan kepada pemegang Hak Tanggungan untuk mengelola obyek Hak Tanggungan berdasarkan penetapan Ketua Pengadilan Negeri yang daerah hukumnya meliputi letak obyek Hak Tanggungan apabila debitor sungguh-sungguh cidera janji.
  • Janji yang memberikan kewenangan kepada pemegang Hak Tanggungan untuk menyelamatkan obyek Hak Tanggungan, jika hal itu diperlukan untuk pelaksanaan eksekusi atau untuk mencegah menjadi hapusnya atau dibatalkannya hak yang menjadi obyek Hak Tanggungan karena tidak dipenuhi atau dilanggarnya ketentuan undang-undang.
  • Janji bahwa pemegang Hak Tanggungan pertama mempunyai hak untuk menjual atas kekuasaan sendiri obyek Hak Tanggungan apabila debitor cidera janji.
  • Janji yang diberikan oleh pemegang Hak Tanggungan pertama bahwa obyek Hak Tanggungan tidak akan dibersihkan dari Hak Tanggungan.
  • Janji bahwa pemberi Hak Tanggungan tidak akan melepaskan haknya atas obyek Hak Tanggungan tanpa persetujuan tertulis lebih dahulu dari pemegang Hak Tanggungan.
  • Janji bahwa pemegang Hak Tanggunganakan memperoleh seluruh atau sebagian dari ganti rugi yang diterima pemberi Hak Tanggungan untuk pelunasan piutangnya apabila obyek Hak Tanggungan dilepaskan haknya oleh pemberi Hak Tanggungan atau dicabut haknya untuk kepentingan umum.
  • Janji bahwa pemegang Hak Tanggungan akan memperoleh seluruh atau sebagian dari uang asuransi yang diterima pemberi Hak Tanggungan untuk pelunasan piutangnya, jika obyek Hak Tanggungan diasuransikan.
  • Janji bahwa pemberi Hak Tanggungan akan mengosongkan obyek Hak Tanggungan pada waktu eksekusi Hak Tanggungan.
  • Janji yang dimaksud dalam Pasal 14 ayat (4). Janji bahwa pemegang Hak Tanggungan pertama mempunyai hak untuk menjual atas kekuasaan sendiri obyek Hak Tanggungan apabila debitor cidera janji. Janji tersebut tidak berdiri sendiri, tetapi melengkapi dan karenanya harus dihubungkan dan merupakan satu kesatuan dengan ketentuan Pasal 6 UUHT, yang memberi hak kepada pemegang hak tanggungan pertama untuk menjual obyek hak tanggungan atas kekuasaan sendiri melalui pelelangan umum serta mengambil pelunasan piutangnya dari hasil penjualan tersebut.

3.                 Akta Jual Beli
Perjanjian jual beli tanah merupakan bentuk perjanjian formil karena perjanjian tentang pelaksanaan jual beli ini wajib dibuat oleh PPAT dan dituangkan dalam Akta Jual Beli. Untuk kasus pengalihan tanah HGB atas obyek hak tanggungan ini, menurut Nisa Rachmasari, tidak ada bedanya dengan akta jual beli tanah lainnya. Hal ini disebabkan tanah sudah diroya seluruhnya sebelum dilakukan jual beli.

XII. JENIS-JENIS PERJANJIAN SEBAGAI DASAR HUKUM DALAM PENGALIHAN HAK GUNA BANGUNAN OBJEK HAK TANGGUNGAN



JENIS-JENIS PERJANJIAN SEBAGAI DASAR HUKUM DALAM PENGALIHAN HAK GUNA BANGUNAN OBJEK HAK TANGGUNGAN


RETNO PRABANDARI, S.H.

Nama       : Danang Prawibowo
NPM       : 21211707
Kelas       : 2EB08
Tema       : Objek Hukum

B.      Langkah-Langkah Pengalihan Hak Guna Bangunan Obyek Hak Tanggungan
Seperti sudah dinyatakan dalam poin A, Nisa Rachmasari menyatakan bahwa penjualan sebagian tanah Hak Guna Bangunan (HGB) obyek hak tanggungan tidak dapat dilaksanakan jika sebelumnya tidak diperjanjikan dalam APHT. Menurut Nisa Rachmasari, jika memang para pihak menghendaki untuk menjual sebagian tanah obyek hak tanggungan yang sebelumnya tidak diperjanjikan dalam APHT, maka pemegang hak tanggungan harus memberikan pernyataan tertulis untuk menghapus seluruh obyek hak tanggungan dari beban hak tanggungan terlebih dahulu. Pernyataan tertulis dari kreditur digunakan sebagai dasar bagi Kantor Pertanahan untuk melakukan roya hak tanggungan. Setelah dilakukan roya hak tanggungan, dibuat Surat Kuasa Membebankan Hak Tanggungan (SKMHT) untuk menjamin kreditur. Nisa Rachmasari menambahkan bahwa sebenarnya SKMHT ini tidak cukup kuat untuk melindungi kreditur. Dikhawatirkan muncul kreditur lain setelah dilakukan roya hak tanggungan atas seluruh tanah HGB obyek hak tanggungan. Langkah selanjutnya adalah melakukan pemecahan atau pemisahan tanah HGB yang sudah dihapuskan dari beban hak tanggungan. Setelah dilakukan pemecahan atau pemisahan, sebagian tanah yang sudah disepakati bersama antara pihak kreditur, debitur dan pembeli, dijual kepada pembeli. Sedangkan tanah HGB yang sudah disepakati oleh pihak kreditur dan debitur, dibebani lagi dengan hak tanggungan dan dibuatkan APHT. Nisa Rachmasari menyatakan bahwa langkah ini tidak mungkin dilaksanakan dalam praktek karena sangat merugikan kreditur. Setelah dilakukan roya, kedudukan kreditur sebagai pemegang hak tanggungan sangat lemah.
Suyanto menyatakan bahwa penjualan sebagian tanah HGB yang dibebani hak tanggungan hanya bisa dilakukan jika penjualan sebagian tanah tersebut dapat langsung melunasi hutang. Sehingga tidak ada langkah yang bisa ditempuh untuk menjual sebagian tanah HGB obyek hak tanggungan guna melunasi sebagian hutang. Tidak ada perbedaan antara HGB atau hak atas tanah lainnya. Jika penjualan atas tanah HGB obyek hak tanggungan tersebut digunakan untuk melunasi seluruh hutang maka langkah yang ditempuh adalah dengan cara dibuat pengikatan jual beli antara pembeli dengan debitur dengan persetujuan dari kreditur. Uang hasil penjualan sebagian tanah ini digunakan untuk pelunasan hutang debitur kepada kreditur. Apabila debitur menyatakan bahwa penjualan sebagian tanah HGB yang dibebani hak tanggungan tersebut tidak dimaksudkan untuk melunasi seluruh sisa hutang, menurut Suyanto, tidak ada perjanjian yang bisa dijadikan dasar hukum untuk melindungi kepentingan kreditur. Berdasarkan praktek di lapangan, kreditur tidak akan mau. Kreditur tentu lebih senang jika jaminan hutangnya bernilai jauh lebih tinggi dari piutang yang diberikan. Menurutnya tidak ada perjanjian yang bisa dibuat untuk melindungi kepentingan kreditur. SKMHT tidak dapat digunakan untuk menjamin kepentingan kreditur. Jangankan SKMHT, APHT saja tidak akan mampu melindungi kedudukan kreditur sebagai kreditur preferent bila belum didaftarkan ke kantor pertanahan. Perlu diingat, lahirnya hak tanggungan yang memberikan kedudukan preferent kepada kreditur lahir pada hari ke tujuh setelah warkah diterima secara lengkap oleh kantor pertanahan. Sehingga menurutnya, tidak ada perjanjian yang bisa digunakan sebagai dasar hukum dalam pengalihan HGB obyek hak tanggungan. Risikonya terlalu besar, terutama jika pada masa setelah roya muncul kreditur lain.

Sedangkan menurut B.I.P. Suhendro, langkah-langkah yang harus ditempuh apabila tidak diperjanjikan sebelumnya dalam APHT adalah sebagai berikut:
  1. Dibuat SKMHT, gunanya adalah memberikan hak kepada kreditur untuk membebani tanah tersebut dengan hak tanggungan.
  2. Dibuat pengantar roya atas seluruh obyek hak tanggungan
  3. Roya hak tanggungan atas tanah.
  4. Dilakukan pemecahan
  5. Dibuat akta jual beli. Hasil penjualan tersebut dipergunakan untuk membayar angsuran kepada kreditur.
  6. Dibuat APHT baru atas bidang tanah hasil pemecahan hanya saja, pelaksanaan langkah ini sangat sulit dilakukan. Dikhawatirkan muncul debitur baru setelah pelaksanaan roya dan saat menunggu sertifikat hasil pemecahan.

Menurut H. Soepirman Soetarman, langkah-langkah yang ditempuh untuk menjual sebagian tanah HGB yang dibebani hak tanggungan adalah sebagai berikut:
  1. Dibuat perjanjian penanggungan atau borghtoch, Perjanjian ini dibuat untuk menjamin kedudukan kreditur yang lemah setelah dilakukan tahap kedua
  2. Roya atas seluruh tanah obyek hak tanggungan
  3. Dilakukan pemecahan atau pemisahan atas bidang tanah yang disepakati para pihak.
  4. Proses jual beli dan balik nama atas tanah hasil pemisahan atau pemecahan kepada pembeli. Uang hasil penjualan digunakan untuk membayar angsuran debitur kepada kreditur.
  5. Dibuat APHT baru peringkat pertama.

Langkah-langkah menurut H. Soepirman Soetarman ini sedikit berbeda dengan langkah-langkah yang diberikan oleh Notaris-PPAT sebelumnya. Perbedaannya terletak pada dibuatnya jaminan penanggungan. Persamaannya terletak pada pelaksanaan roya hak tanggungan atas seluruh obyek hak tanggungan. Menurut penulis, pentingnya roya atas seluruh obyek hak tanggungan disebabkan adanya persamaan pendapat mengenai akibat dari pemecahan dan pemisahan sebagaimana pendapat Kartini Muljadi dan Gunawan Widjaja.

Menurut Kartini Muljadi dan Gunawan Widjaja, akibat dari bidang tanah :
  1. Dipisah. Dengan dipisah di sini, dimaksudkan dilahirkan hak atas tanah baru di samping hak atas tanah sebelumnya yang telah ada. Status tanah yang baru sama dengan status hak atas tanah sebelum pemisahan dilakukan.
  2. Dipecah. Berbeda dari pemisahan, pemecahan melahirkan hak atas tanah baru secara keseluruhan, dengan hapusnya hak atas tanah sebelumnya. Status dari seluruh hak atas tanah yang baru ini adalah sama dengan status hak atas tanah sebelum pemecahan dilakukan, yang selanjutnya hapus demi hukum tersebut.

Kartini Muljadi dan Gunawan Widjaja menyimpulkan bahwa dengan dipisah atau dipecah, Hak Tanggungan yang telah dibebankan dapat menjadi hapus demi hukum. Satu-satunya kegiatan atau perbuatan hukum yang tidak menyebabkan hapusnya hak atas tanah sebelumnya adalah pemisahan hak atas tanah. Meskipun demikian, pemisahan menyebabkan luas tanah dalam sertifikat menjadi berkurang. Oleh karena itu agar Hak Tanggungan tetap dapat dijadikan sebagai jaminan kebendaan atas bidang-bidang tanah tersebut, perlu dibuatkan lagi APHT baru, dan selanjutnya didaftarkan hingga dikeluarkan Sertifikat Hak Tanggungan yang baru.